Rabu, 17 Agustus 2011

Menabuh Rebana di Dalam Masjid


Di antara karakter alami manusia adalah senang terhadap sesuatu yang bernilai estetika baik rupa maupun suara. Seperti panorama alam, gemercik air yang mengalir, semilir angin sepoi-sepoi, alunan alam yang asyik dinikmati telinga dan semacamnya. Begitu pula dengan untaian kata yang didendangkan dalam bentuk nyanyian. Imam al-Ghazali berkata: barang siapa yang hatinya tidak tergerak ketika mendengarkan sebuah lagu, maka berarti orang tersebut kurang sempurna akalnya, tidak memiliki keseimbangan serta tidak memiliki kepekaan spiritual. (Mukhtashar Ihyâ’ hlm 116). Ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, beliau disambut dengan lantunan syair, “Thala’a al-badru 'alainâ…” yang disertai dengan tabuhan rebana.


Meskipun keindahan bernyanyi dan mendengarkan musik merupakan fitrah bagi manusia, bukan berarti hal itu boleh tanpa batasan. Akan tetapi, Islam menetapkan beberapa ketentuan akan kebolehannya. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa bernyanyi dan bermain musik bisa diperbolehkan apabila memenuhi lima syarat:
Pertama, yang melantunkan lagu itu bukan wanita yang haram dilihat atau suaranya bisa menimbulkan syahwat.  
Kedua, alat musik yang dipakai bukan terdiri dari alat yang dilarang oleh syariat.
Ketiga, lirik lagunya tidak mengandung kata-kata yang jorok, erotis, ejekan dan pengingkaran kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga, tidak mengandung pujian kepada non Muslim.
Keempat, yang mendengarkan lagu tidak lantas dikuasai syahwat lantaran mendengarkan lagu tersebut.
Kelima, orang yang mendengarkan lagu tersebut harus orang yang memungkinkan cintanya bertambah kepada Allah karena terinspirasi oleh lagu yang dinikmatinya. (Ihyâ’ juz 2 hal. 281-283).
Bekenaan dengan menabuh rebana, mayoritas ulama mengatakan bahwa hal itu boleh, berdasarkan peristiwa penyambutan sahabat Anshar ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Selain itu, juga ada anjuran dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menabuh rebana ketika meramaikan prosesi pernikahan. Sebagaimana diriwayatkan dalam Hadis riwayat Sayidah Aisyah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ (رواه الترمذي)


Umumkanlah pernikahan ini, dan lakukan itu di dalam masjid. Lalu, ramaikanlah dengan menabuh rebana. (HR at-Tirmidzi)
Imam al-Khathib asy-Syirbini dalam kitab Tuhfatul-Habîb 'alâ Syarhil-Khathîb juz 4 hlm 78 menegaskan bahwa Imam asy-Syafii juga memperbolehkan alat musik rebana dengan bertendensi pada Hadis ini. Namun Imam an-Nawawi dalam kitab Raudhah mengutip pernyataan Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Baghawi dan lainnya, menyatakan bahwa kebolehan menabuh rebana itu hanya tertentu untuk prosesi pernikahan dan sunatan saja. Selain dua keadaan ini tidak diperbolehkan. Sedangkan menurut al-Ghazali tetap diperbolehkan.(lihat: Raudhatuth-Thâlibîn juz 4 hlm 165)
Lalu, bagaimana hukum menabuh rebana di dalam masjid mengacu pada pendapat ulama yang memperbolehkan menabuh rebana secara mutlak? Mengenai hal ini Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan dalam Tuhfatul-Muhtâj, bahwa hal itu tidak diperkenankan. Sebab, masjid merupakan tempat yang harus selalu diagungkan. Sementara, yang diperintahkan untuk diselenggarakan di masjid, sebagaimana termaktub dalam Hadis di atas, adalah akad nikahnya, bukan tabuhan rebananya.
Sementara, dalam kitabnya yang lain, yakni Fatâwa al-Kubrâ (juz 4 hal. 356), Ibnu Hajar justru membuat pernyataan berbeda, bahwa Hadis di atas memang memberikan sinyal akan bolehnya menabuh rebana di dalam masjid. Akan tetapi hanya sebatas boleh. Beliau tetap mengatakan bahwa sebaiknya jangan dilakukan di dalam masjid, karena bagaimanapun tujuan awal masjid dibangun bukan untuk hal itu.
Mengenai adanya dua pendapat dari Ibnu Hajar tersebut, rumusan fikih menyatakan bahwa apabila ternyata terjadi kontradiksi di antara kitab-kitab Ibnu Hajar, maka yang didahulukan adalah: 1) Tuhfatul-Muhtâj Syarhul-Minhâj, 2) Fathul-Jawwâd, 3) al-Imdâd, 4) Syarhul-‘Ubbâd, dan 5) Kitab-kitab fatwa beliau, seperti Fatâwâ al-Kubrâ dan Fatawâ al-Hadîtsiyah. (Lihat: Muqaddimah al-Tahdzîb fî Fiqhil-Imâm al-Syâfi‘i, hal. 51)
Maka, dengan mengikuti rumusan tersebut, maka berarti menabuh rebana di dalam masjid memang tidak diperkenankan. Oleh karena itu, jika kita memang hendak melangsungkan akad nikah di masjid dengan mengikuti anjuran Hadis di atas, dan kita hendak menyemarakkannya dengan tabuhan rebana, maka tabuhan rebana itu sebaiknya jangan dilakukan di masjid, tapi di luar masjid, sebagaimana pemahaman dan pendapat para ulama. Bahkan, Syekh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’ânatuth-Thâlibîn setelah menyebutkan Hadis “A'linû hadzan-nikâh…" itu, beliau membuat pertanyaan yang kemudian dijawab sendiri. Beliau berkata: jika Anda bertanya: (memahami dari Hadis ini) bagaimana mungkin masjid bisa ditabuhi rebana, padahal masjid harus dijaga dari tabuhan seperti itu? Maka saya jawab: Yang diperintah untuk dilakukan di dalam masjid dalam Hadis itu adalah sekadar akadnya saja, sedangkan tabuhannya dilakukan di luar masjid.  
Lebih tegas lagi, Syekh Jamaluddin al-Ahdal dalam ‘Umdatul-Muftî wal-Mustaftî (juz I hlm 80-81). Beliau mengemukakan, bahwa orang yang memahami Hadis di atas apa adanya, kemudian memperbolehkan untuk menabuh alat musik rebana di dalam masjid, orang tersebut adalah termasuk orang yang keliru fatal dan tidak memahami metode istidlâl (penggalian suatu dalil dari nash) dengan benar. Karena, pemahaman yang benar dari Hadis di atas adalah: akad nikahnya dilakukan di dalam masjid, sementara tabuhan rebananya dilakukan di luar masjid.

Sumber: Buletin SIDOGIRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar